Pemuda selalu identik dengan gagasan bernas yang hadir dalam setiap hela nafasnya. Gagasan tersebut layaknya peluru yang lepas berdesing tanpa henti menghantam semua kebuntuan. Tak ada yang bisa hentikan langkahnya. Dibendung tak terbendung, dihadang tak terhadang. Ia hanya bisa diarahkan selaras.
Pemuda hari ini menggambarkan dinamika tersebut. Tak ada yang bisa menghadang ide dalam desingan kata-kata dan kerja mereka. Kita melihat itu nyata, sosok Gibran Rakabuming Raka dengan segala kontroversinya hadir sebagai sosok yang tak mampu terbendung sebagai simbol representasi anak muda di kancah perpolitikan Indonesia. Beliau mampu meraih tampuk posisi Wakil Presiden Republik Indonesia dengan semua pandangan positif negatif yang melabelinya.
Gibran hadir sebagai sosok pemuda yang terkesan tidak sopan dengan nafas ketimuran Indonesia. Penulis sepakat dalam beberapa hal tentang itu. Tapi, apakah kita ingat peristiwa Rengasdengklok dimana anak muda menculik kaum tua dan mendesak Sukarno-Hatta untuk segera mendeklarasikan kemerdekaan? Anak muda menilai kondisi kekacauan dimana Jepang sudah tak berdaya harus dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan diri sebagai bangsa merdeka.
Apabila berkaca pada kesopanan, bukankah menculik bukan hanya tindakan tidak sopan, itu tindakan “kriminal”. Tapi tindakan tersebut menyelamatkan Indonesia dari jurang penjajahan yang ratusan tahun dialami. Meskipun, dalih keadaan saat itu darurat dan semua cara terlihat sah. Bagi penulis bukan untuk melihat hal tersebut hitam putih, penulis ingin melihat lebih kepada determinasi anak muda untuk mampu mengambil peran. Bukan sekedar pemanis zaman.
Mengutip pendapat Ardiabara Ihsan yang menyatakan bahwa gibranisme merupakan kesejatian maju menantang arus, berani terhadap resiko, dan bersiap dengan segala resiko. Maka, gibranisme dalam konteks tersebut harusnya menjadi spirit anak muda dalam mengambil tindakan meskipun terlihat ganjil dan menentang alam kebiasaan.
Banyak anak muda yang berani seperti itu, tetapi tentu tidak semua berhasil dalam hasil. Berangkat dari ketidakberhasilan banyak ketakutan yang hadir dalam alam pikiran jika ia mengambil tindakan berani dan berbeda. Itu hal wajar dan banyak alasan yang mendukung kewajaran tersebut.
Namun hidup menjadi anak muda itu sekali, Youth Only Live Once. Kemewahan menjadi muda tidak akan terulang. Ia adalah titik klimaks dari determinasi fisik dan psikis. Anak muda sudah selayaknya mampu mengambil peran berani untuk menciptakan arus
perubahan. Entah itu dalam bidang apa pun. Jika gagal tentu tak mudah untuk menjalaninya. Tetapi, menjalani hidup yang biasa-biasa saja tentu sudah menjadikan anak muda menua sebelum waktunya.
Di awal bulan kemerdekaan ini, marilah spirit muda kita kibarkan dalam dinamika merah dan putih. Jangan menyerah untuk mengambil langkah. Jika kita gagal dalam banyak hal yang telah kita ambil. Tokoh perubahan tidak semuanya berhasil dalam sekali tindakan. Ia gagal dalam banyak tindakan dan tertunduk lemah dalam kalah. Tapi ia mampu kembali sadar, bahwa ia muda dan tertunduk lemah bukan waktunya.(Rilis)